00:00:00
[Musik]
00:00:24
Bismillahirrahmanirrahim. Asalamualaikum
00:00:26
warahmatullahi wabarakatuh. Selamat
00:00:28
malam, Teman-teman.
00:00:30
ya di titik balik purban masih dengan
00:00:32
edisi dari daily reflection Dr. David
00:00:35
Arain. Baik, sebelum kita awali kelas
00:00:37
kita malam ini, mari kita berdoa
00:00:39
terlebih dahulu sebagai wujud kesyukuran
00:00:41
atas nikmat, rahmat dan kepahaman dalam
00:00:43
kita malam ini. Berdoa silakan.
00:00:46
Auzubillahiminasyaitanirrajim.
00:00:48
Bismillahirrahmanirrahim. Rbiidna ilma
00:00:50
warzuqna fahma birahmatika yaamarahimin.
00:00:53
Amin. Bang Aswar.
00:00:56
Iya, Om.
00:00:58
Kang, ini ada yang tanya menarik sekali
00:01:01
nih. Gimana? Gimana,
00:01:04
Kang? Ee saya pernah ikut pengembangan
00:01:07
diri. Ee jadi saya diinstal makhluk
00:01:11
penjaga seperti sahabat virtual. Ee
00:01:14
kalau kata ilmu agama itu mungkin qodam
00:01:17
ya bahasa jawanya itu sedulur papat
00:01:21
limau pancer mungkin lah ini nanti kalau
00:01:24
ikut MTLC ini bermasalah enggak?
00:01:29
Paling hilang.
00:01:33
Yakin
00:01:35
kalau memang benar-benar ada ya itu ya
00:01:38
hilang
00:01:39
RPD ya. Itu kan opo gitu ya.
00:01:43
pengembangan diri. Hah?
00:01:48
Ikulah repote orang kita itu. Aman aman
00:01:51
berarti, Kang. Ya, diri aja belum kenal
00:01:55
sudah dikembangin macam-macam. Ngono
00:01:57
loh. Manusia. Pengembangan benar ituu
00:02:00
pengembangan manusia bukan pengembangan
00:02:02
diri. Oh. Kalau diri enggak dikembangin,
00:02:05
Kang ya. Loh, kok ngembang jadi opang
00:02:08
roti apa
00:02:10
gimana? Pasti terminal. Oke. Iya kan?
00:02:14
Asalamualaikum warahmatullahi
00:02:15
wabarakatuh. Opiku. Asalamualaikum.
00:02:20
Lanjutlanjut. Oke. Oke. Jadi ya makanya
00:02:25
sebenarnya dari dari dulu kan kita punya
00:02:27
isu itu bahwa sebenarnya masyarakat kita
00:02:31
ini memang gak ngerti apa-apa gitu
00:02:34
loh. Istilahnya toh yang keren.
00:02:38
Tapi itu kemudian ya gak tahu esensinya
00:02:42
apa gitu misalnya kata spiritual gitu
00:02:45
kan. Itu juga problematis di masyarakat.
00:02:48
Enggak ada yang tahu itu artinya opo
00:02:52
sih? Iya
00:02:54
toh. Jadi itu ee satu persoalan bagi
00:02:59
bangsa kita
00:03:00
ini. Istilah-istilah itu gak jelas asal
00:03:04
usulnya. Dari kosakata apa? Dari suku
00:03:08
mana kosakata itu gak
00:03:11
jelas.
00:03:14
Tahu-tahu tahu-tahu muncul macam-macam.
00:03:21
Ya,
00:03:23
itu suatu apa
00:03:27
ya bangsa yang gagal itu sebenarnya.
00:03:31
Karena masyarakatnya itu menerima
00:03:36
kosakata yang enggak jelas itu asal
00:03:38
usulnya dari mana
00:03:40
gitu, dari kampung mana si kosakata
00:03:44
itu. Terus orang di sana itu memahaminya
00:03:47
bagaimana?
00:03:50
segala macam itu
00:03:54
muncul. Makanya kita sejak awal
00:03:57
itu di
00:03:59
PCI kita sudah deklarasi bahwa yang kita
00:04:04
pelajari itu aku. Sudah titik objeknya
00:04:08
aku gitu.
00:04:11
objek materialnya aku. Dan sebenarnya
00:04:16
gini, apa yang di ee apa namanya? Apa
00:04:22
yang dibuat oleh
00:04:24
Haukin sebagai peta kesadaran?
00:04:30
I
00:04:32
kan
00:04:35
itu kalau kita terjemahkan nanti saya
00:04:38
tulis tuh di buku saya ya Pande Hauto
00:04:41
gitu itu sebenarnya kan peta konteks
00:04:45
keakuan iya
00:04:47
toh kan gitu.
00:04:51
Map of consciousness ini kalau
00:04:52
diterjemahkan dalam bahasa
00:04:56
kita ini sebenarnya peta konteks
00:05:02
keakuan itu nanti saya akan
00:05:04
tulis di buku saya
00:05:08
gitu.
00:05:11
Peta,
00:05:15
konteks, rasa kean, konteks keakuan aja
00:05:19
lah ya.
00:05:21
Atau teman-teman kalau nunggu buku saya
00:05:23
kelamaan kamu ikut ikut kelasnya Mas
00:05:27
Didu yang tanggal berapa Om?
00:05:30
tanggal 11
00:05:32
besok itu saya akan
00:05:35
jelasin termasuk di buku yang akan
00:05:38
dibedah tanggal 11
00:05:41
itu.
00:05:42
Akhirnya Haukin
00:05:45
mengakui
00:05:48
bahwa power versus force
00:05:51
itu pengversusan power dengan force itu
00:05:54
suatu error, suatu kesalahan.
00:05:58
Karena sebenarnya enggak bisa
00:06:01
diversuskan itu. Hain ngakuin sendiri.
00:06:04
Nanti kita akan bedah itu ya
00:06:06
di buku acaranya Mas
00:06:10
Didu. Di kelas lain enggak dibahas. Itu
00:06:13
memang khusus beda bukunya Mas Didu di
00:06:16
Jogja. Di Yogyakarta. Di rumah jomblo.
00:06:20
Di rumah jomblone Mbak Ahmad. Nah gitu
00:06:22
ya. Ya jomblo bukan rumah
00:06:25
jomblo. Rumah jomblo mbah Ahmad ng loh
00:06:29
kok rumah jomblo menyakitkan iki wis R
00:06:31
dadi w enggak jadi tak
00:06:36
promosikan iki pesertanya 300-an
00:06:43
iki malam ini saya kelupaan bawa volpen
00:06:47
ya jadi gak pakai
00:06:50
volpen.
00:06:51
Jadi ee masyarakat kita itu
00:06:56
lagi-lagi belajar pengembangan diri
00:06:59
itu enggak
00:07:02
tuntas. Enggak
00:07:04
tuntas. Pokoknya teman-teman ya,
00:07:09
Teman-teman
00:07:11
ee ayo peta kesadaran itu peta konteks
00:07:15
keakuan gitu. Jadi konteks keakuan itu
00:07:18
sudah kita kan
00:07:21
di PCI kan sudah selesai toh itu
00:07:24
memetakan konteks keakuan itu ada
00:07:27
konteks D3 itu sejak tab 1 itu sudah
00:07:30
selesai begitu
00:07:32
dipetakan konteks keakuan tuh ya D3 D4
00:07:36
D5 D6
00:07:39
D7 D8 D9 D10 itu dulu harus clear sejak
00:07:43
awal ini adalah konteks Kak AK an karena
00:07:47
dia adalah konteks keakuan, maka itu
00:07:51
sebenarnya angka-angka
00:07:53
itu itu bukan hierarki
00:07:57
nilai. Hanya saja konteks keakuan tadi
00:08:02
itu adalah angka-angka asosiatif. Ah,
00:08:06
itu orang harus
00:08:08
paham bahwa angka-angka di dalam peta
00:08:11
kesedaran itu adalah
00:08:13
angka-angka asosiatif.
00:08:16
itu
00:08:18
ya
00:08:21
angka-angka pada peta
00:08:26
kesadaran
00:08:27
adalah
00:08:31
angka-angka
00:08:34
asosiatif. Artinya angka itu berasosiasi
00:08:37
dengan konteks tertentu. 400 berarti
00:08:41
konteks dimensi keempat gitu. 500
00:08:45
berarti konteks dimensi kelima dan
00:08:50
seterusnya.
00:08:52
Nah, dan pada akhirnya kan gini ya. Apa
00:08:58
sih tujuan akhir
00:09:01
daripada orang
00:09:03
ikut orang
00:09:06
ikut pembelajaran kesadaran atau apa sih
00:09:10
tujuan akhir
00:09:13
daripada
00:09:16
ee kelas mentoring MTLC gitu kan.
00:09:23
Tujuannya itu hanya satu,
00:09:27
bahwa kamu bisa
00:09:29
mengevaluasi konteks
00:09:32
akumu, ya kan? Kamu bisa
00:09:35
mengevaluasi konteks akumu terkait
00:09:38
dengan peristiwa hidup sehari-hari,
00:09:44
gitu. Itu nanti ee apa ya? Pokoknya soal
00:09:48
itu nanti kita akan bahas di beda buku
00:09:51
ya.
00:09:52
Satu buku sendiri itu satu buku sendiri.
00:09:55
Jadi teman-teman kalau mau belajar
00:09:56
pengembangan diri itu tertib bukunya
00:10:00
pakai buku jangan gak pakai
00:10:04
buku harus satu buku harus ada
00:10:08
bukunya nanti dikasihkan juga kan
00:10:10
PDF-nya Om ya dibiasakan pakai buku,
00:10:14
biasakan baca gitu.
00:10:17
Jangan gak ada bukunya terus akhirnya
00:10:19
itu kata siapa gak jelas.
00:10:22
Gak bisa
00:10:23
di bahas
00:10:26
bersama-sama ya toh. Kayak misalnya kan
00:10:29
bahwa
00:10:31
pversusan power dengan force itu suatu
00:10:34
kesalahan. Kita sudah bahas jauh
00:10:37
hari kita sudah
00:10:41
bahas seperti jadi namanya belajar ilmu
00:10:43
tuh ya usahakan ada kitabnya.
00:10:48
Makanya kita dari awal di PCI itu bahkan
00:10:52
sebelum PCI masih namanya Power Force
00:10:56
Indonesia ngomong itu pakai
00:10:59
buku ya toh kayak gini kan pembacaan
00:11:02
kayak gini ini dibiasakan pakai
00:11:05
buku biar apa biar konteksnya
00:11:09
jelas biar kemudian tuh kalau ada salah
00:11:13
itu bisa dikoreksi bareng-bareng kan
00:11:15
gitu toh
00:11:19
Sekarang langsung kita masuk ke pokoknya
00:11:21
ya. Oh ya, Kang sebelum lanjut ya, nanti
00:11:24
kan habis ini saya ada sesi sama Bu
00:11:28
siapa namanya
00:11:30
ya?
00:11:31
[Musik]
00:11:33
Ee apa
00:11:38
namanya? Ee sama Bu Sopo iku Rek? Ayo
00:11:43
restor Bu Nuri. Nanti tolong dikirimin
00:11:46
bikinin linknya, Kang ya. Saya gak bisa.
00:11:49
Ini
00:11:50
Haidar bikinin
00:11:53
linknya nanti habis ini langsung
00:11:56
kelasnya Bu Nuri. Oke.
00:11:58
Wes enggak bawa volpen itu jadi tangane
00:12:02
nulis
00:12:03
di kertas sendiri gitu. Karena saya
00:12:06
kalau ngomong enggak nulis itu enggak
00:12:08
hidup kayak enggak hidup gitu.
00:12:13
Sekarang kita langsung masuk
00:12:16
ke ee pembacaan
00:12:19
ya,
00:12:22
pembacaan daily reflection. Nah,
00:12:24
insyaallah tahun depan itu nanti baca
00:12:28
daily reflection saya. Nah, sampai tahun
00:12:29
depan lah. Setelah setelah ini kayaknya
00:12:32
ya daily reflection-nya bisa tulisan
00:12:36
saya sendiri.
00:12:41
Oke, 20 Mei ya. Sadarilah bahwa
00:12:45
penggambaran Tuhan sebagai
00:12:48
hakim adalah delusi
00:12:51
ego yang muncul sebagai proyeksi rasa
00:12:57
bersalah dari hukuman masa kanak-kanak.
00:13:02
Sadarilah
00:13:04
bahwa Tuhan itu bukanlah orang tua. Nah,
00:13:09
ini masalah penting
00:13:12
ini. Karena begini. Karena begini.
00:13:17
di dalam
00:13:19
[Musik]
00:13:21
buku-buku itu terutama aliran apa ya?
00:13:25
Frankfurt ya kayak Carl
00:13:29
Marx, kemudian Nise, para pembunuh Tuhan
00:13:32
gitu ya.
00:13:33
Nise, kemudian Karl
00:13:36
Marmax, Freud termasuk kita sudah baca
00:13:40
kan
00:13:43
bahwa dan ini berkembang di Indonesia.
00:13:46
Nasami dibuat repot karena
00:13:50
kemudian Tuhan itu dikira hanya
00:13:53
rekaan-rekaan
00:13:56
pikiran. I toh ya toh Mas Yani?
00:14:00
Jadi Tuhan itu dianggap
00:14:04
sebagai ee
00:14:08
proyeksi orang tua gitu
00:14:12
ya. Itu
00:14:14
sebenarnya omongan kayak begitu.
00:14:17
gitu. Itu adalah omongan yang
00:14:22
mencampuradukan
00:14:24
antara non dualitas kemanusiaan dan
00:14:29
nonalitas
00:14:31
keilahian. Makanya ini perlu pemetaan
00:14:34
yang berapi, pemetaan yang benar. bahwa
00:14:38
dualitas itu ada dua, dualitas pada
00:14:43
kemanusiaan dan dualitas pada
00:14:48
keilahian. Dualitas pada kemanusiaan
00:14:51
diselesaikan dengan nondualitas
00:14:55
pada
00:14:56
kemanusiaan. Sementara dualitas pada
00:14:59
keilahian diselesaikan dengan
00:15:03
nondualitas pada keilahian. sudah
00:15:07
ada tempatnya
00:15:10
sendiri-sendiri sehingga kemudian tuh
00:15:14
jangan
00:15:16
ee apa ya kita itu
00:15:19
menulis tanpa tahu konteks itu
00:15:23
jangan tambah kacau.
00:15:27
Memang mungkin secara sosiologis ya,
00:15:31
orang-orang
00:15:32
yang mengucapkan kata
00:15:35
Tuhan berpikirnya secara teologis
00:15:39
itu ya atau berpikir alat teologis itu
00:15:43
dia juga belum punya kategori bahwa pada
00:15:46
dirinya itu ada dualitas kemanusiaan,
00:15:51
ada dualitas keilahian, gitu loh.
00:15:56
Sehingga memang penggambaran akan Tuhan
00:15:59
itu adalah penggambaran dalam dualitas
00:16:03
[Musik]
00:16:05
kemanusiaan ya. Atau maka Tuhan
00:16:07
digambarkan seperti Bapaknya gitu kan.
00:16:12
Jadi Tuhan itu
00:16:16
dikira itu adalah
00:16:19
ilusi
00:16:21
sosiologis seperti tulisan Niet dan
00:16:25
lain-lain. Itulah para pembunuh Tuhan.
00:16:27
Tapi menurut saya berdasarkan pemetaan
00:16:30
yang sudah dibuat ini, mereka itu sudah
00:16:35
ngomongin banyak hal, posisi akunya
00:16:38
enggak
00:16:39
dicek. Ya enggak sih?
00:16:41
Mereka ngomong Tuhan, ngomong ini,
00:16:44
tapi baik yang ngomong maupun yang
00:16:46
diomongin sama-sama enggak ngecek posisi
00:16:50
haknya. Akhirnya keduanya
00:16:54
ribut. Mestinya
00:16:57
kalau cek dulu posisi aku, terang kok.
00:17:04
gak ada masalah bahwa memang dualitas
00:17:06
itu ada
00:17:08
dua dan memang terlalu lata. Jadi ee
00:17:12
dalam masyarakat kita itu terlalu
00:17:15
latah dan apa ya kosakata teologis itu
00:17:21
kemudian
00:17:23
menjadi ee dominan dalam kehidupan
00:17:27
sehari-hari.
00:17:29
Tetapi tanpa sadar bahwa kosakata
00:17:33
teologi tadi itu dipakai oleh aku yang
00:17:38
masih es kecil yang
00:17:41
bahkan yang
00:17:43
bahkan dualitas dengan kemanusiaannya
00:17:46
aja belum
00:17:48
tuntas, belum terkategori dengan baik
00:17:51
gitu
00:17:52
loh. sudah dibanjiri dengan kosakata
00:17:57
teologis.
00:17:59
Akhirnya kosakata teologis tadi dibajak
00:18:03
oleh aku yang penuh
00:18:05
kegelapan. Akhirnya kemudian
00:18:09
muncul bahwa Tuhan itu tidak ada. Apa
00:18:13
sih kayak gitu
00:18:16
itu. Jadi kita ini aja fokus saja di
00:18:20
kajian kita. Perhatikan dulu duduknya
00:18:23
aku
00:18:25
gitu ya. Toh kalau aku itu masih di
00:18:29
dualitas mau nulis apa
00:18:32
saja itu sebenarnya dalam rangka untuk
00:18:36
narsis. Bahayanya kan gitu.
00:18:40
untuk narsisnya aku bukan akhirnya
00:18:42
ciri-ciri narsis itu menciptakan
00:18:46
fragmentasi, menciptakan
00:18:49
pembelahan menciptakan
00:18:55
pembelahan terbelah kemanusiaan itu. Itu
00:18:59
berarti dualitas dengan kemanusiaan
00:19:02
belum selesai. sudah pakai
00:19:05
kosakata teologis. Ah,
00:19:08
itu suatu persoalan. Jadi, pada akhirnya
00:19:13
gini loh, aku itu menjadi
00:19:17
korban atau menjadi pelaku dari bencana
00:19:21
kemanusiaan eh
00:19:23
bencana sosial gitu.
00:19:28
itu yang harus
00:19:32
di apa namanya? Itu yang harus
00:19:35
di pahami bahwa kalau aku itu es kecil
00:19:39
inilah aktor dari bencana sosial.
00:19:44
Apalagi sekarang ini ya melalui
00:19:47
mesos kos untuk bencana sosial itu
00:19:51
mengerikan ya
00:19:54
toh. Kita sudah bosan setiap hari
00:19:58
melihat timeline itu isinya cuman ijazah
00:20:02
Jokowi
00:20:04
aja kan bencana
00:20:09
sosial. Iya.
00:20:11
nanti ke mana-mana gitu. Padahal kalau
00:20:16
diselesaikan diselesaikan ya gak
00:20:20
jadi timeline kita itu tidak penuh
00:20:23
dengan hal-hal yang
00:20:27
sifatnya hal-hal seperti itu gitu ya.
00:20:32
Jadi seperti yang ditakutkan oleh ya
00:20:36
seperti yang ditakutkan
00:20:39
oleh Gitawirwan bahwa Mesos itu nanti
00:20:43
akan memperpara bencana sosial
00:20:47
gitu ya.
00:20:50
Jadi pada akhirnya ego itu mendapatkan
00:20:54
ruangnya untuk
00:20:57
narsis ya mendapatkan ruangnya untuk
00:21:01
satu sisi
00:21:03
itu positif kalau dilihat dalam
00:21:08
kerangka proses progresif. Dan saya
00:21:10
melihat apa mengajaklah ya mengajak
00:21:14
teman-teman tuh
00:21:16
melihat narsisik ego itu sebagai tahap
00:21:20
awal sebelum dilarutkan gitu. Jadi tidak
00:21:22
tidak juga apa tidak juga menyeranglah
00:21:25
ya. Kita tempatkan itu dalam kerangka
00:21:28
proses progresif.
00:21:35
Jadi tidak perlu
00:21:36
ada sidang sidang sidang kode etik S
00:21:40
kecil enggak perlu enggak perlu karena
00:21:45
kita melihatnya
00:21:47
sebagai proses progresif gitu. Tapi satu
00:21:51
sisi
00:21:53
ya satu
00:21:56
sisi itu juga menimbulkan
00:21:59
kerugian ruang publik.
00:22:02
Akhirnya hak publik itu harusnya
00:22:05
mendapatkan ee
00:22:08
pendidikan ya toh
00:22:10
justru
00:22:12
memperkuat sifat narsis. Nah, itu satu.
00:22:16
Jadi dan
00:22:22
ya itu satu problem ya.
00:22:26
Jadi, dan kita harus membiasakan diri
00:22:29
untuk merangkul logika-logika
00:22:32
kontradiktif. Jadi, yang benar yang mana
00:22:34
nih? Berita negatif itu adalah awal
00:22:38
untuk melarutkan atau untuk memperkuat
00:22:40
narsistik? Kedua-duanya benar
00:22:44
gitu ya.
00:22:46
Toh kedua-duanya benar. Tinggal kamu
00:22:50
akumu itu di mana?
00:22:53
Jadi jangan mencari kebenaran objektif.
00:22:56
Kalau kebenaran objektif itu pasti dia
00:22:59
menolak
00:23:02
kontradiktif seperti
00:23:06
itu. Oke. Jadi
00:23:09
bahwa ee menyadari bahwa apa namanya
00:23:16
ini penggambaran Tuhan
00:23:21
sebagai penghukum gitu ya.
00:23:26
adalah delusi ego yang muncul sebagai
00:23:29
proyeksi rasa bersalah dari hukuman masa
00:23:32
kanak-kanak. Ya, ini kan berarti
00:23:35
sebenarnya aku itu belum selesai
00:23:39
dengan dualitas pada
00:23:42
kemanusiaannya. Bukan berarti ini
00:23:44
menjadi dalil Tuhan itu tidak
00:23:47
ada ya
00:23:51
ngawur ya. Ini kan berarti bahwa aku itu
00:23:56
belum selesai
00:23:59
dengan dengan dualitas pada
00:24:03
kemanusiaannya. Maka yang harus
00:24:05
dilakukan adalah bukan kok membuat dalil
00:24:09
Tuhan itu hanya proyeksi ego, bukan.
00:24:14
Tetapi bahwa orang itu masih belum
00:24:18
tuntas dengan dualitas pada
00:24:20
kemanusiaannya.
00:24:23
seperti
00:24:32
itu. Iya toh. Jadi selesaikan dualitas
00:24:37
pada non eh selesaikan dualitas pada
00:24:41
kemanusiaan, bukan membuat dalil tentang
00:24:46
Tuhan kayak gitu.
00:24:49
Tapi memang sangat berbahaya ya, sangat
00:24:52
berbahaya pola dakwa ya, pola dakwah
00:24:58
yang
00:24:59
[Musik]
00:25:00
ee pola dakwa
00:25:04
yang apa kalau orang Jawa bilang
00:25:07
itu apa ya sembarangan.
00:25:14
pola dakwah sembarangan itu tidak
00:25:18
memperhatikan
00:25:19
ee kesehatan
00:25:23
atau tidak memperhatikan perkembangan
00:25:27
konteks aku gitu. Itu serampangan betul
00:25:32
itu. Dan apesnya bahasa teologi ini
00:25:36
telah menjadi bahasa kebudayaan.
00:25:41
apa
00:25:43
sih? Padahal padahal
00:25:48
ya dalam pengalaman saya sendiri
00:25:52
itu ya kalau mau menggunakan bahasa
00:25:55
teologi itu ya konteks akunya mesti
00:25:57
dituju ke
00:25:58
[Musik]
00:26:00
atas. Dujuh ke atas. Maka di situ dalam
00:26:05
pengalaman
00:26:07
saya, ibadah itu adalah ruang yang
00:26:13
diatur agar aku tuh tidak melupakan
00:26:17
konteks-konteks keilahian. aku hadir,
00:26:20
aku harus hadir di sana gitu
00:26:24
loh. Tidak hanya mengurusi konteks
00:26:27
kemanusiaanku, tetapi
00:26:29
juga tidak tanpa melupakan konteks
00:26:33
keilahian.
00:26:34
Maka ee pada tingkat itu salat itu bagi
00:26:38
saya suatu karunia karena itu adalah
00:26:41
memberi
00:26:42
ruang bagi
00:26:44
aku untuk
00:26:47
hadir. Min kan salat itu kan minimal dia
00:26:50
9 nih rbigfirli gitu kan.
00:26:57
Jadi pada akhirnya
00:26:59
tuh
00:27:00
melalui ritual ya atau melalui ritual
00:27:04
itu, melalui religi
00:27:06
itu itu
00:27:09
adalah ee memberi ruang kepada aku untuk
00:27:14
mengevaluasi mengevaluasi konteks bahwa
00:27:18
oke ada konteks
00:27:21
keilahian, ada konteks
00:27:24
kemanusiaan kan seperti
00:27:28
itu. Jadi di dalam pemahaman saya
00:27:33
pribadi itu tidak
00:27:35
memversuskan antara spiritualitas dan
00:27:39
religiusitas. Kenapa?
00:27:42
Karena
00:27:43
dalam
00:27:45
pelaksanaan dalam
00:27:47
pelaksanaan religiusitas itu kan ee
00:27:54
adalah sebuah program sosial. sebuah
00:27:59
program sosial untuk mengevaluasi
00:28:03
duduknya
00:28:06
aku. Program sosial untuk mengevaluasi
00:28:09
duduknya aku. itu juga saya jelaskan
00:28:13
di saya jelaskan di kata pengantar buku
00:28:16
saya yang akan terbit
00:28:19
bahwa
00:28:22
ee apa ya di masa-masa
00:28:25
awal
00:28:27
tumbuh saya itu ya memang rasanya
00:28:31
itu tidak ada program
00:28:35
kurikulum tidak ada
00:28:37
kurikulum yang mengajarkan kan tentang
00:28:41
konteks keakuan semuanya tentang
00:28:43
pencapaian gitu kan.
00:28:47
Tapi
00:28:48
setelah mampu membuat
00:28:51
pemetaan pemetaan mengenai
00:28:54
konteks-konteks keakuan itu, saya
00:28:56
melihat bahwa sebenarnya kurikulum
00:29:02
sosial yang
00:29:04
itu ee care dengan konteks keakuan itu
00:29:09
ya religiusitas itu sebenarnya
00:29:11
religisitas. Tapi memang kan ee ini
00:29:15
adalah ee pandangan personal belum
00:29:20
menjadi apa tren di dalam institusi
00:29:24
keagamaan gitu. Saya merasa dengan
00:29:28
adanya religisitas
00:29:30
itu
00:29:32
ee itu
00:29:34
adalah ruang sosial ya. itu adalah suatu
00:29:39
ruang sosial yang intinya adalah untuk
00:29:43
evaluasi konteks aku gitu. Jadi aku itu
00:29:46
gak larut pada satu
00:29:48
konteks. Enggak larut dengan satu
00:29:50
konteks. Ada yang evaluasinya itu harian
00:29:54
ya toh. Ada yang evaluasinya
00:29:58
mingguan. Ada yang eh ya mingguan kan
00:30:02
ada yang evaluasinya itu tahunan.
00:30:07
ada yang evaluasinya itu semesteran
00:30:11
gitu-gitu kan. Apalagi kita misalnya
00:30:14
kalau dari pondok itu ya
00:30:17
katakan ada haulah
00:30:20
itu adalah waktu
00:30:24
sosial untuk
00:30:26
mengevaluasi konteks
00:30:29
keakuan. Ada hal guru to.
00:30:33
Saya sendiri merasa beruntung itu karena
00:30:35
di hari-hari itu itu adalah waktu sosial
00:30:39
untuk mengevaluasi aku. Apalagi saya
00:30:41
gitu ya. Hal guru ada
00:30:45
dua. Ada Mbak Hadi, ada Mbah
00:30:50
Marjuki. Jadi kalau Mbah Hadi itu bulan
00:30:52
7, kalau Mbah Marjuki biasanya bulan
00:30:55
Desember. Merasa beruntung punya
00:30:58
tradisi-tradisi
00:31:00
itu. Kenapa? itu adalah perenungan untuk
00:31:04
evaluasi konteks keakuan
00:31:08
gitu. Gitu.
00:31:12
Jadi ya apa ya yang saya lihat itu di
00:31:16
masyarakat kita itu latah
00:31:20
dengan apa ya karya-karya filsafat
00:31:25
itu. Bukan berarti yang nulis itu Freud,
00:31:29
bukan berarti yang nulis itu Marx, bukan
00:31:32
berarti yang nulis itu Nise. Itu benar
00:31:35
gak?
00:31:36
Dan orang Barat juga kan tidak seperti
00:31:39
itu. Itu kita bisa kritisi. Dia
00:31:44
mencampuradukan dualitas kemanusiaan
00:31:47
dengan dualitas keilahian.
00:31:49
Kalau dari model ini
00:31:52
gitu, model
00:31:55
ini. Oke, saya kira itu ya. Saya kurang
00:31:58
kurang kurang greget ini kalau enggak
00:32:00
ada fp-nya.
00:32:03
Ee tapi intinya bahwa
00:32:06
gini, tujuan
00:32:08
utama dalam mempelajari kesadaran itu
00:32:12
adalah
00:32:14
evaluasi sistem
00:32:16
evaluasi konteks keakuan. Dan saya
00:32:19
sendiri itu merasa beruntung ada sistem
00:32:25
religiositas yang itu evaluasi hariannya
00:32:29
lima kali.
00:32:36
seperti itu. Ada yang sistem bulanan
00:32:40
gitu
00:32:40
ya. Jadi sejak awal kopdar itu saya
00:32:43
sudah tidak setuju dengan pemisahan
00:32:47
religiusitas dan
00:32:49
spiritualitas berdasarkan pengalaman
00:32:53
subjektifku. tidak bisa dipisahkan
00:32:55
karena bagi saya itu adalah
00:32:59
ee kerangka
00:33:02
evaluatif. Kerangka evaluatif
00:33:06
itu dan ujung daripada belajar kesadaran
00:33:10
itu adalah kemawasan. Mawas dengan ragam
00:33:14
konteks aku dalam peristiwa sehari-hari
00:33:19
gitu. Saya kira itu. Terima kasih.
00:33:21
Asalamualaikum warahmatullahi
00:33:23
wabarakatuh.
00:33:24
Waalaikumsalam warahmatullahi
00:33:26
wabarakatuh. Langsung ini, Kang ya.
00:33:27
Hubungi. Hubungi siapa? Tolong bantu
00:33:29
hubungi Kak itu ya,
00:33:32
Pak. Terima
00:33:33
kasih, Bang Aswar. Terima kasih,
00:33:36
Teman-teman. I ditunggu ya ee buku
00:33:39
terbaru Bang Aswar. Insyaallah bulan
00:33:42
Juni kelar. Insyaallah di minta doa
00:33:46
restunya. Terima kasih. Kita bertemu
00:33:48
besok insyaallah. Asalamualaikum
00:33:49
warahmatullahi wabarakatuh. Selamat
00:33:51
malam dan selamat beristirahat.