00:00:03
Beberapa waktu lalu gue ngelihat ada
00:00:05
headline berita tentang banyaknya anak
00:00:07
SMP yang enggak bisa baca. Pemirsa dunia
00:00:10
pendidikan kembali dihebohokan dengan
00:00:12
adanya R tidak bisa membaca tulis dan
00:00:15
menuai ragam respon dari Mas. Siswa
00:00:17
Sekolah Menengah pertama SMP di
00:00:19
Kabupaten Buleleng Bali tidak bisa baca
00:00:21
tulis. Kurikulum sekarang itu kurikulum
00:00:23
merdeka dengan pembelajaran tuntas. Eh
00:00:26
baca lu. Gua gak bisa baca. Gua kan di
00:00:29
media sosial kita juga bisa dengan mudah
00:00:31
menemui konten anak-anak SMA yang dites
00:00:34
menghitung dasar enggak bisa. 24 / 3
00:00:40
t 3 * 7 3 * 7 em 3 * 7 eh du gua mau
00:00:49
jelasin di sini kenapa ini adalah
00:00:51
masalah besar dan kita harus ngapain
00:00:54
untuk menyikapi situasi ini?
00:01:06
Kita sebenarnya enggak perlu ya data
00:01:08
yang hebat-hebat dari OECD seperti PISA
00:01:11
atau Piage untuk membahas masalah
00:01:14
rendahnya literasi dan kemampuan dasar
00:01:16
kita. Kita bisa amati dengan mudah dari
00:01:19
sampel-sampel yang lebih kecil ya. Salah
00:01:20
satu contohnya yang ada di berita itu.
00:01:22
Jadi, dalam sebuah tes membaca dan
00:01:25
menulis yang diselenggarakan di Kota
00:01:27
Buleleng, Bali, itu ditemukan ada
00:01:29
ratusan siswa SMP enggak bisa baca
00:01:33
tulis. Nah, data ini tuh sebenarnya
00:01:35
men-support ya data Piage yang dirilis
00:01:37
kira-kira 6 56 tahun lalu ya, yang
00:01:40
nunjukin kemampuan baca orang bergelar
00:01:43
sarjana di Jakarta itu berada di bawah
00:01:46
kemampuan baca anak SMP di Denmark.
00:01:49
Emang benar ya kalau misalnya kita mau
00:01:51
nyari 100 atau 1000 orang jenius mungkin
00:01:53
ketemu di Indonesia ini. Tapi kalau kita
00:01:54
bicara sebagai suatu masyarakat
00:01:57
demokrasi dengan 270 juta orang
00:02:01
segelintir Einstein itu enggak bisa
00:02:04
menyelamatkan kita dari krisis. berbagai
00:02:07
krisis atau masalah yang bisa muncul
00:02:09
gara-gara terlalu banyak orang dengan
00:02:12
literasi dan kemampuan dasar yang enggak
00:02:14
cukup untuk bisa ngelola informasi,
00:02:16
keputusan, dan interaksi sosial dengan
00:02:19
sehat, dengan baik. Dan tentu aja ini
00:02:21
bukan salah anak-anak ya, ini salah
00:02:22
orang-orang dewasa. Kita yang
00:02:24
bertanggung jawab memberikan pendidikan
00:02:27
dasar untuk semua anak yang lahir
00:02:29
terutama tentu saja ini adalah tugasnya
00:02:32
negara yang mengelola uang dan sumber
00:02:34
daya kita semua. Tapi negara juga butuh
00:02:36
support dari publik yang paham duduk
00:02:38
perkaranya dengan tepat. Ya, sehingga
00:02:41
kita juga bisa mendorong nih
00:02:42
solusi-solusi yang tepat untuk negara
00:02:44
bisa terapkan. Maka itu menurut gue juga
00:02:47
penting untuk kita semua meluangkan
00:02:49
waktu untuk memahami persoalan ini dan
00:02:52
gimana solusi yang sebaiknya kita ambil
00:02:56
berdasarkan data dan fakta lapangan gitu
00:02:58
loh. Bukan sekedar asumsi puisi atau
00:03:02
fantasi.
00:03:07
Gua lihat di mana-mana setiap ada
00:03:09
percakapan tentang masalah pendidikan
00:03:10
Indonesia akan ada komen yang kira-kira
00:03:13
bunyinya gini, "Tapi di Jepang gini-gini
00:03:15
atau di Finlandia gini-gini." Contoh
00:03:18
kita lagi diskusi harus ada mata
00:03:21
pelajaran wajib apa aja nih di sekolah
00:03:23
kita. Akan ada yang komen, "Di Norway
00:03:25
mata pelajarannya dikit kok, tapi maju
00:03:27
gitu ya." Atau contoh lainnya kita lagi
00:03:29
bahas apakah perlu ada ujian terstandar
00:03:32
nasional yang nentuin kelulusan atau
00:03:35
kenaikan kelas. Akan ada komen, "Finland
00:03:38
enggak ada tuh ujian-ujian yang bikin
00:03:40
anak stres hasilnya bagus." Komentar
00:03:42
seperti ini kalau didengar atau dibaca
00:03:45
sekelibat itu kedengaran makes sense ya.
00:03:48
Hmm. Masuk akal alias akal siput. Cara
00:03:52
berpikir kayak gitu tuh ibarat kita lagi
00:03:53
bangun rumah ya kan? Terus kita lihat
00:03:55
tetangga kita nih lagi bangun rumah
00:03:56
juga. Oh, dia lagi masang genteng tuh di
00:03:58
lantai dua. Oke, kita jiplak itu. Kita
00:04:02
pesan genteng untuk dipasang di lantai
00:04:04
du. Padahal bangunan rumah kita baru
00:04:07
sampai cakar ayam, ya. Jadi, tukang pun
00:04:10
bingung mau naruh gentengnya di mana.
00:04:13
Metode pendidikan itu harus disesuain
00:04:15
dengan kondisi masyarakat yang mau
00:04:17
dididik kayak gimana. Ini bukan menurut
00:04:19
gue, ini kata penelitian. McKenzie bikin
00:04:22
penelitian menggunakan data dari 20
00:04:24
negara yang pendidikannya mengalami
00:04:26
peningkatan luar biasa dalam waktu yang
00:04:28
relatif singkat kayak Singapura dan
00:04:29
Korea Selatan. Gue nemu penelitian ini
00:04:31
di postnya Zenius. Di penelitian itu
00:04:34
ditemuin ada pola di mana negara yang
00:04:38
berhasil itu menyusun metode pendidikan
00:04:40
mereka sesuai dengan kondisi
00:04:42
pendidikannya ada di posisi mana.
00:04:44
Kondisi pendidikan ini bisa dibagi
00:04:45
posisinya ke dalam lima level. Pur,
00:04:48
fair, good, great, excellent. Kita sebut
00:04:51
aja level-level ini dengan angka ya.
00:04:53
Satu untuk PUR, 5 untuk excellent. Level
00:04:55
ini dinilai bukan dari adanya segelintir
00:04:58
anak jenius atau menang medali emas
00:05:01
Olimpiade sains atau matematik
00:05:03
internasional setiap tahun. Enggak ya.
00:05:05
Penilaiannya emang enggak dari situ.
00:05:06
Level ini dinilai dari kondisi secara
00:05:08
umum. Karena yang mau dipahami dan
00:05:10
dibangun di sini adalah kualitas
00:05:12
masyarakat secara umum, kualitas SDM
00:05:14
secara umum. Jadi analisisnya juga
00:05:16
berdasarkan itu. Bagaimana kemampuan
00:05:19
dasar anak secara umum, bagaimana
00:05:21
kompetensi guru secara umum, dan
00:05:23
seterusnya. Bukan diambil dari
00:05:25
segelintir-segelintir atau kasus
00:05:27
anekdotal. Nah, penelitian MKzie
00:05:29
menemukan bahwa negara-negara yang
00:05:31
berhasil mencapai peningkatan kualitas
00:05:33
pendidikan dan SDM dengan baik adalah
00:05:35
negara yang tahu posisinya di mana dan
00:05:39
menerapkan metode pendidikan sesuai
00:05:41
dengan level negaranya. Jadi kalau
00:05:43
negara itu ada di level 1, dia mau maju
00:05:46
ke level 2, beda sistem dan kurikulumnya
00:05:49
dengan negara yang di level 3 mau ke
00:05:51
level 4. Atau tadi konteksnya kalau dari
00:05:53
poor to fair akan beda dengan good to
00:05:56
great atau great to excellent. Gimana
00:05:59
dengan Indonesia?
00:06:05
Berkaca dari data-data literasi dasar
00:06:07
yang tersedia, kita bisa simpulin
00:06:09
pendidikan kita itu adanya di level 1.
00:06:13
Artinya, sistem dan kurikulum yang kita
00:06:15
bikin harus dibuat, harus didesain untuk
00:06:18
bergerak dari level 1 ke level 2. Jangan
00:06:21
sampai kita jiplak negara yang udah di
00:06:23
level 4 mau ke level 5 enggak akan
00:06:25
masuk, ya. Enggak akan masuk. Proses
00:06:28
perkembangan dari level 1 ke level 2 itu
00:06:30
artinya sistem harus sangat serius
00:06:32
membangun kemampuan dasar seperti
00:06:34
membaca, menulis, berhitung, atau
00:06:36
literasi dan numerasi. Untuk bisa
00:06:38
melakukan ini dengan baik akan ada dua
00:06:40
titik tumpuk. Yang pertama pengajar atau
00:06:43
gurunya. Ya kan? Betul isu kesejahteraan
00:06:47
guru itu penting, tapi yang enggak kalah
00:06:48
penting juga isu kompetensi. Kita harus
00:06:51
pastiin guru-gurunya punya kemampuan
00:06:53
dasar yang baik. Dan bukan cuman itu,
00:06:55
dia juga punya kemampuan ngajarin itu ke
00:06:57
orang lain. Jadi, ini dua level nih
00:06:59
prosesnya. Nah, di bagian ini menurut
00:07:01
gue kita akan sangat terbantu kalau bisa
00:07:03
lebih banyak melibatkan sumber daya
00:07:04
online learning juga gitu. Jadi, akan
00:07:06
ada kolaborasi antara guru di lapangan
00:07:09
dengan bahan belajar dari online
00:07:11
platforms. Di Indonesia sendiri ada
00:07:12
banyak attack yang bagus, gua pasti
00:07:14
mention ya, Zenius tempat gua ngajar,
00:07:16
but also Ruang Guru punyai Iman, Belfa,
00:07:18
ada sekolahmus, S Martik, Pahamifi, dan
00:07:20
masih banyak lagi itu beberapa yang gua
00:07:22
bisa sebut on top of my head. silakan
00:07:24
cari tahu yang lainnya. Tapi gue yakin
00:07:26
dengan skala pengajaran online mereka
00:07:29
bisa punya nih pengajar-pengajar yang
00:07:31
top, yang kompeten, yang driven, yang
00:07:33
bisa juga dirawat dengan insentif yang
00:07:35
sepadan. Nah, dengan memanfaatkan online
00:07:38
learning, kita juga jadi bisa pakai
00:07:39
teknologi atau fitur yang helpful buat
00:07:42
proses belajar jadi jauh lebih efektif,
00:07:44
ya kan? Apalagi ya sekarang dengan
00:07:46
adanya AI of course di situ negara
00:07:50
tinggal kerja ngebangun jembatannya
00:07:51
sebenarnya yaitu internet dan perangkat
00:07:54
digitalnya. Tapi dengan BUMN sebesar dan
00:07:58
seberpengalaman Telkom, harusnya sih
00:08:00
kita bisalah melakukan ini. Kita bisa
00:08:02
melakukan transformasi dan integrasi
00:08:04
besar-besaran untuk pendidikan di
00:08:06
lapangan bisa tersupport oleh sumber
00:08:09
daya pendidikan online. Dengan begitu
00:08:11
pendidikan kita bisa fokus mengantar
00:08:13
tadi Indonesia bergerak dari level 1 ke
00:08:16
level 2 yang memastikan secara umum
00:08:19
anak-anak punya literasi dan kemampuan
00:08:22
dasar yang baik. Ini yang akan jadi
00:08:24
fondasi kita bergerak ke level
00:08:26
selanjutnya lagi. Berikutnya titik tumpu
00:08:28
yang kedua, enforcement. Kita perlu
00:08:30
punya sistem yang mastiin kompetensi itu
00:08:32
dicapai oleh peserta didik gitu. Salah
00:08:35
satunya dengan assessment terstandar, ya
00:08:38
kan? Asesmen terstandar nasional yang
00:08:39
menjadi alat ukur orang masuk ke jenjang
00:08:41
berikutnya. Kita enggak bisa lagi nih
00:08:43
terus ngebiarin orang naik kelas, lulus
00:08:45
basa-basi. Masalah di tingkat SMA itu
00:08:47
akumulasi dari SD. Jadi harus ada sistem
00:08:49
yang mastiin anak itu dari sejak naik
00:08:52
kelas 1 ke kelas 2 udah ada ukuran
00:08:54
perkembangan minimal yang dicapai.
00:08:56
Jangan sampai terakumulasi. Tahu-tahu
00:08:58
disuruh belajar kalkulus padahal number
00:09:00
sense enggak punya atau tahu-tahu
00:09:02
disuruh bikin makalah padahal struktur
00:09:03
kalimat belum
00:09:10
menguasai. Kalau dari pihak Kemdikbud
00:09:12
ada yang kebetulan nonton ini, gua mau
00:09:14
nyampein beberapa hal. Kalau mereka
00:09:15
belum nonton, tolong dikirimin ke mereka
00:09:18
yang mungkin useful ya buat kebijakan
00:09:19
pendidikan kita ke depannya. Pertama,
00:09:21
pendidikan kita itu jelas ya levelnya
00:09:22
berada di level PUR atau level 1. Jadi
00:09:24
kita mau bergerak ke level 2 nih. Nah,
00:09:27
untuk itu kita perlu mendesain sistem
00:09:28
dan kurikulum yang benar-benar fokus di
00:09:30
situ gitu. Yang emang benar-benar
00:09:32
memastikan progres dari level 1 ke level
00:09:34
2 itu terjadi. Nah, Pak Mukti sepertinya
00:09:36
adalah sosok yang paham dan peduli nih
00:09:38
soal kompetensi. Kelihatan ada keinginan
00:09:40
untuk merangkai sistem yang benar-benar
00:09:41
ngebangun kompetensi. Bukan sekedar ada
00:09:43
gedung sekolah, ada kursi cukup gurunya
00:09:46
mengajar, gurunya datang, tapi
00:09:48
benar-benar ada masteri yang kebangun.
00:09:50
Ini penting. Sekarang tinggal gimana
00:09:52
eksekusinya. Kita libatin semua sumber
00:09:54
daya yang ada, ya kan tadi guru-guru
00:09:57
berpengalaman, etc yang bagus, bahkan
00:09:59
media ataupun content kreator edukasi.
00:10:02
Libatin semuanya untuk kita benar-benar
00:10:04
memastikan progres itu terjadi. Dan
00:10:06
evaluasi atas semua ini enggak bisa
00:10:08
dijalanin sama pihak yang bikin
00:10:09
programnya sendiri. Ya, misal gue
00:10:12
ngajar, gue juga yang evaluasi, enggak
00:10:14
bisa ya kan. Harus ada lembaga khusus
00:10:17
yang independen, yang diisi oleh
00:10:19
orang-orang kompeten yang paham isunya,
00:10:21
jangan paham duduk perkaranya, bisa
00:10:23
melakukan assessment dan mereka akan
00:10:24
fokus di situ untuk kerjanya adalah
00:10:27
mengukur capaian belajar secara
00:10:29
objektif. Jadi, kita tahu hasil dari
00:10:32
proses belajar ini seperti apa. Hasil
00:10:34
evaluasi ini juga akan menjadi pijakan
00:10:36
untuk kita semua mengambil keputusan
00:10:38
terkait pendidikan. Nah, di sini
00:10:40
pemerintah bisa menggandeng kampus,
00:10:42
mungkin lembaga riset, pakar dan
00:10:44
profesional juga mungkin industri ya.
00:10:46
Dan tentunya perusahaan teknologi yang
00:10:48
menguasai bidang ya. Karena mungkin
00:10:50
mereka juga punya ya berbagai fitur ya
00:10:52
kan tools sistem yang bisa membantu
00:10:54
proses evaluasi ini dilakukan dengan
00:10:55
baik. Nah, kalau udah ada pengukuran
00:10:57
yang jelas seperti itu baru insentif
00:10:59
bisa kita kasih dengan tepat. Guru dan
00:11:01
sekolah yang berhasil benar-benar
00:11:03
meningkatkan kemampuan dasar anak harus
00:11:05
dapat dukungan lebih, harus dapat
00:11:07
insentif yang lebih besar. Nah, untuk
00:11:09
mengukur performa dari para pengajar nih
00:11:12
ya, dari sekolah ataupun guru gitu ya,
00:11:14
kita perlu punya suatu preest terstandar
00:11:18
nasional. Sebelum anak masuk ke satu
00:11:20
sekolah dia udah jalanin tes diagnostik
00:11:23
dulu untuk tahu dia di level mana
00:11:24
masternya. Ya enggak performa sekolah
00:11:26
dan pengajar harus diukur dari
00:11:29
perkembangan anak, dari loncatan
00:11:31
perkembangannya. Jadi kalau sekolah dari
00:11:33
awal nerima murid-murid udah jago ya
00:11:35
kan, udah di level tinggi ya otomatis
00:11:37
sekolah itu jangan dapat insentif yang
00:11:39
besar dong. Karena kan dia sebenarnya
00:11:40
enggak bawa anaknya ke mana-mana ya kan.
00:11:42
Orang dari awal udah nyampai kok ke
00:11:44
masteri yang tinggi gitu kan. Nah tapi
00:11:46
sekolah yang dapat murid-murid yang
00:11:48
justru masih jauh skill-nya awalnya ya
00:11:50
kan ketika dia masuk dan ketika dia
00:11:52
keluar dari sekolah itu jadi tinggi
00:11:54
skill-nya jadi ada perkembangan. Nah di
00:11:56
situlah kita kasih insentif
00:11:58
sebesar-besarnya buat sekolahnya, buat
00:12:00
gurunya ya. Jadi guru dan sekolah
00:12:02
performanya dinilai bukan dari hasilnya,
00:12:05
tapi loncatannya nih, gitu.
00:12:07
Perkembangannya seberapa jauh
00:12:09
perkembangan kemampuan dasar yang mau
00:12:11
kita bangun tadi dicapai oleh para
00:12:13
murid-murid di suatu sekolah ini.
00:12:15
Terakhir kita bikin transparansi ya.
00:12:18
Data untuk semua proses ini itu harus
00:12:20
bisa diakses publik. Dengan begitu
00:12:23
pertanggungjawaban atas APBN 20%
00:12:25
pendidikan itu jadi jelas. Bukan sekedar
00:12:27
duitnya dipakai buat apa, ya kan? bukan
00:12:29
sekedar oh duitnya dipakai buat ngecat
00:12:31
sekolah, buat beli kursi, buat beli meja
00:12:33
gitu ya, bukan. Tapi capaian belajarnya
00:12:36
apa dan masteri yang kebangun apa di
00:12:38
level
00:12:39
[Musik]
00:12:43
mana? Sebagai catatan penutup, gue
00:12:46
pengen kita enggak berhenti hanya sampai
00:12:49
di mencetak segelintir SDM unggulan. Gue
00:12:52
enggak bilang itu hal yang buruk, itu
00:12:54
hal yang baik. mengangkat yang top of
00:12:56
the top untuk sampai bersinar sampai
00:12:58
potensi maksimalnya itu adalah ende
00:13:01
adalah usaha yang baik gitu ya. Tapi
00:13:05
menurut gue kita juga harus ingat bahwa
00:13:06
pendidikan publik itu punya tanggung
00:13:08
jawab publik, punya tanggung jawab umum
00:13:11
untuk menyediakan pendidikan dasar yang
00:13:14
bisa menghasilkan lulusan yang punya
00:13:17
literasi dan kemampuan dasar yang baik.
00:13:19
Karena dari situlah semuanya dimulai.
00:13:21
Kalau kemampuan dasarnya udah enggak
00:13:23
kuat, ya kan, apapun program atau metode
00:13:26
belajar canggih yang dibangun di atasnya
00:13:28
itu udah pasti runtuh. Maka itu kita
00:13:30
harus pastikan fondasinya bagus,
00:13:33
pondasinya kuat. Itu aja dari gue. Kalau
00:13:35
lu ngerasa ini penting, boleh bantu
00:13:38
di-share ke semua koneksi lu, ya kan?
00:13:41
Mudah-mudahan bisa nyampai ke
00:13:42
orang-orang yang duduk di kursi
00:13:44
kekuasaan juga yang bisa bikin
00:13:45
kebijakan-kebijakannya. Semakin banyak
00:13:47
orang yang lebih paham masalahnya, akan
00:13:49
semakin besar peluang buat kita bisa
00:13:52
benerin, bisa dapat solusi yang tepat
00:13:54
bareng-bareng. Gue Kan Cita. Salam
00:13:56
masyarakat baru.