00:00:00
Pernikahan di Indonesia udah lama
00:00:02
berubah jadi ajang pembuktian sosial.
00:00:04
Banyak orang nikah bukan karena udah
00:00:05
siap secara mental dan finansial, tapi
00:00:08
karena kejar target umur, tekanan
00:00:10
keluarga, atau sekedar gengsi. Akhirnya
00:00:12
resepsi dijadiin proyek besar-besaran.
00:00:14
Modalnya bisa tabungan habis, pinjaman,
00:00:16
bahkan utang konsumtif yang enggak masuk
00:00:18
akal. Semua demi satu hari yang katanya
00:00:21
sekali seumur hidup. Masalahnya setelah
00:00:23
hari itu lewat justru masalah nyata
00:00:24
mulai muncul. Biaya hidup dobble,
00:00:26
cicilan mulai jalan, tanggung jawab
00:00:28
makin banyak, dan penghasilan belum
00:00:29
tentu nambah. Tapi kebanyakan orang udah
00:00:31
kehabisan sumber daya sebelum sampai di
00:00:33
titik ini. Dan di titik itu juga banyak
00:00:36
pasangan mulai goyah. Statistik bilang
00:00:38
masalah keuangan jadi penyebab utama
00:00:40
penceraian di Indonesia. Artinya ada
00:00:42
yang salah secara sistemik. Bukan cuma
00:00:44
di level personal tapi di cara
00:00:45
masyarakat kita ngatur prioritas hidup.
00:00:47
Nah, di video kali ini gua bakal bahas
00:00:49
kenapa pernikahan bisa jadi pemicu sebab
00:00:51
kemiskinan. Buat tahu keseluruhannya
00:00:53
semuanya ah aku jelasin di video kali
00:00:54
ini. So, tonton videonya sampai
00:00:57
[Musik]
00:01:01
habis. Di Indonesia mereka bukan lagi
00:01:04
soal siapa atau enggaknya seseorang
00:01:05
membangun rumah tangga, tapi lebih ke
00:01:07
sering soal apa kata orang, tentang
00:01:09
bagaimana keluarga akan terlihat di mata
00:01:11
tetangga, tentang bagaimana pesta itu
00:01:12
bisa jadi momen balas budi ke
00:01:14
saudara-saudara yang dulu pernah bantu.
00:01:16
Akannya datang dari konstruksi sosial
00:01:17
yang udah berjalan puluhan tahun di
00:01:19
banyak lingkungan. Menikah itu dianggap
00:01:21
sebagai simbol keberhasilan. Lu udah
00:01:23
dewasa, lu udah mapan, lu udah cukup
00:01:25
jadi orang. Maka pernikahan harus
00:01:27
dirayakan. Dan bukan dengan cara
00:01:29
biasa-biasa aja, ada ekspektasi bahwa
00:01:31
hari itu harus jadi hari yang paling
00:01:32
megah, paling spesial, paling
00:01:34
mengesankan. Bukan cuma untuk mempelai,
00:01:36
tapi untuk seluruh orang yang hadir dan
00:01:38
menyaksikan. Anehnya, tekanan itu enggak
00:01:40
cuma datang dari keluarga atau
00:01:41
lingkungan sekitar. Banyak orang juga
00:01:43
secara enggak sadar menaruh gengsi di
00:01:45
pundaknya sendiri. Ada rasa bersalah
00:01:47
kalau enggak bisa ngasih yang terbaik
00:01:48
buat pasangan. Ada rasa malu kalau pesta
00:01:50
pernikahan dinilai terlalu sederhana.
00:01:52
Padahal yang disebut terbaik itu
00:01:54
sebenarnya cuma penyesuaian dari standar
00:01:55
sosial yang dibentuk lewat media sosial,
00:01:58
kultur, dan cerita-cerita sukses yang
00:01:59
penuh visualisasi mewah. Di sinilah
00:02:02
ilusi itu bekerja karena pesta yang
00:02:03
megah dianggap sebagai validasi bahwa lu
00:02:06
udah mencapai sesuatu. Dampaknya enggak
00:02:08
main-main. Banyak pasangan yang rela
00:02:09
minjam duit dalam jumlah besar, jual
00:02:11
aset orang tua, bahkan ngutang ke bank
00:02:13
demi nutup biaya pesta. Mereka ngejar
00:02:15
sesuatu yang bahkan enggak akan berguna
00:02:17
secara jangka panjang. Ironisnya,
00:02:19
perjuangan untuk terlihat berhasil
00:02:20
justru jadi awal kemunduran finansial.
00:02:23
Dan semua itu bermula dari satu
00:02:24
keputusan yaitu menjadikan pernikahan
00:02:26
sebagai panggung bukan sebagai titik
00:02:28
awal perjalanan hidup tapi sebagai
00:02:30
puncak pertunjukan di mana yang ditonton
00:02:32
bukan cintanya tapi kemewahan yang
00:02:34
dikemas rapi demi memenuhi ekspektasi
00:02:36
sosial. Padahal setelah semuanya selesai
00:02:38
yang tersisa cuma dua orang yang harus
00:02:40
belajar hidup bareng dengan sisa uang
00:02:42
yang mungkin udah menipis atau malah
00:02:44
udah habis duluan.
00:02:50
Banyak orang enggak sadar bahwa salah
00:02:52
satu langkah paling beresiko dalam hidup
00:02:53
itu justru terjadi di titik yang mereka
00:02:55
anggap paling bahagia, yaitu pesta
00:02:57
pernikahan. Karena justru di momen
00:02:59
itulah banyak orang langkah masuk ke
00:03:01
jurang finansial yang mereka gali
00:03:02
sendiri. Pelan tapi pasti. Bukan karena
00:03:05
enggak ada uang sama sekali, tapi karena
00:03:07
uang yang ada enggak cukup untuk
00:03:08
memenuhi ekspektasi megahnya pesta.
00:03:10
Akhirnya utang jadi jalan keluar yang
00:03:12
dianggap wajar. Fenomena ini terjadi di
00:03:14
mana-mana. dari desa sampai kota besar,
00:03:16
dari kelas bawah sampai menengah,
00:03:18
semuanya punya cerita tentang orang yang
00:03:20
ngutang demi nikah. Tapi yang enggak
00:03:22
banyak dipikirin adalah pernikahan itu
00:03:23
bukan garis akhir, justru titik awal.
00:03:26
Delu enggak bisa memulai awal yang baru
00:03:28
dengan kondisi finansial yang udah cacat
00:03:30
dari awal. Begitu resepsi selesai dan
00:03:32
panggung ditutup, pasangan baru ini
00:03:34
langsung disambut sama realitas hidup
00:03:35
bareng. Bayar kontrakan, belanja harian,
00:03:37
kebutuhan bulanan, sampai ke biaya
00:03:39
emergency yang bisa muncul
00:03:41
sewaktu-waktu. Tapi karena sebagian
00:03:42
besar uang sudah habis buat satu hari
00:03:44
pesta, mereka terpaksa mulai semuanya
00:03:46
dari minus. Uang enggak ada, utang
00:03:48
numpuk, dan tekanan datang dari segala
00:03:50
arah. Gambaran ideal tentang rumah
00:03:52
tangga yang manis dan penuh cinta jadi
00:03:54
keruh gara-gara tekanan finansial yang
00:03:56
seharusnya bisa dihindari. Dan yang
00:03:57
lebih tragis lagi, semua itu sebenarnya
00:03:59
bisa enggak terjadi kalau dari awal
00:04:01
pasangan dan keluarganya lebih
00:04:03
realistis. Tapi budaya di sekitar mereka
00:04:05
enggak ngasih ruang buat itu. Lu
00:04:06
dianggap enggak serius kalau nikahnya
00:04:08
sederhana. Lu dipandang rendah kalau
00:04:10
pesta lu enggak ramai atau enggak mewah.
00:04:12
Jadi pilihan yang tersedia cuma dua.
00:04:14
Memuaskan ekspektasi sosial tapi bayar
00:04:16
dengan hutang atau jalanin sesuai
00:04:17
kemampuan tapi siap mental dihina. Di
00:04:20
tengah tekanan sosial yang keras kayak
00:04:21
gitu, banyak orang milih opsi pertama.
00:04:23
Mereka rela miskin secara finansial asal
00:04:26
tetap bisa tampil layak di mata orang.
00:04:28
Mereka enggak sadar bahwa dengan
00:04:29
berhutang untuk resepsi, mereka
00:04:31
sebenarnya lagi ambil beban masa depan
00:04:32
dan ditaruh di pundak hari ini. Dan
00:04:34
beban itu dalam banyak kasus enggak cuma
00:04:37
bikin pasangan baru hidup susah. tapi
00:04:39
juga jadi pemicu awal dari kehancuran
00:04:41
hubungan yang mereka kira bakal
00:04:43
[Musik]
00:04:47
selamanya. Banyak orang enggak nikah
00:04:49
karena cinta, tapi karena tekanan. Dan
00:04:51
tekanan paling besar seringkiali bukan
00:04:53
datang dari pasangan, tapi dari keluarga
00:04:55
besar. Bukan cuma soal kapan nikah, tapi
00:04:57
sampai ke bentuk pestanya, gedungnya,
00:04:59
jumlah tamu, bahkan urusan adat yang
00:05:01
ribet dan mahal. Di titik ini, lu bukan
00:05:03
lagi subjek utama dalam hidup lu
00:05:05
sendiri, tapi objek dari ekspektasi
00:05:07
kolektif keluarga dan masyarakat. Yang
00:05:09
sering kejadian keluarga besar ikut
00:05:11
campur dalam semua keputusan. Lu pengin
00:05:13
nikah sederhana dibilang pelit. Lu
00:05:15
pengin akad aja dibilang enggak
00:05:16
menghargai tradisi. Lu pengin ngundang
00:05:18
orang-orang terdekat aja dibilang
00:05:20
malu-maluin keluarga. Akhirnya lu
00:05:22
dipaksa masuk ke arena yang lu sendiri
00:05:23
enggak siap. Dan ini kejadian bukan cuma
00:05:25
di desa tapi juga di kota-kota besar.
00:05:27
Gengsi tetap sama. Tekanannya tetap
00:05:29
kuat, cuma kemasannya yang beda.
00:05:31
Sialnya, kontribusi keluarga besar
00:05:33
enggak selalu sebanding sama
00:05:34
tuntutannya. Banyak yang cuma bisa
00:05:36
bilang harus begini dan enggak boleh
00:05:38
begitu. Tapi pas ditanya bantuin
00:05:39
biayanya, semuanya pada lempar tangan.
00:05:42
Lu yang pusing ngatur, lu yang harus
00:05:43
cari pinjaman, lu juga yang harus
00:05:45
nanggung semua efek jangka panjang dari
00:05:47
keputusan yang lu sendiri sebenarnya
00:05:49
enggak sepenuhnya setuju. Dan kalau kita
00:05:50
mikir ini cuma efek sosial biasa, itu
00:05:53
salah. Karena semua ini punya
00:05:54
konsekuensi ekonomi yang nyata. Tekanan
00:05:56
dari keluarga dan adat bisa bikin lu
00:05:58
keluar dari batas kemampuan finansial.
00:06:00
Lu kepaksa ngutang, jual aset, bahkan
00:06:02
ada yang sampai pakai pinjol buat
00:06:04
nutupin semua kebutuhan yang sifatnya
00:06:05
simbolik. Padahal setelah nikah hidup lo
00:06:07
baru mulai. Tapi modal yang seharusnya
00:06:09
bisa jadi pondasi awal kehidupan rumah
00:06:11
tangga malah udah habis buat
00:06:13
menyenangkan orang lain yang belum tentu
00:06:15
ada di hidup lo setelah pesta selesai.
00:06:16
Penikahan harusnya jadi keputusan logis
00:06:18
dan rasional yang sesuai kapasitas loh.
00:06:20
Tapi kalau keputusan dibajak oleh budaya
00:06:22
malu, gengsi keluarga, dan adat yang
00:06:24
enggak bisa dinegosiasi, maka lo sedang
00:06:26
jalan ke arah kemiskinan dengan dalih
00:06:28
menjaga nama
00:06:31
[Musik]
00:06:33
baik. Salah satu miskonsepsi paling umum
00:06:36
yang masih dipercaya banyak orang sampai
00:06:38
hari ini adalah keyakinan bahwa setelah
00:06:40
menikah hidup bakal jadi lebih ringan.
00:06:42
Ada anggapan bahwa dua kepala, dua
00:06:44
penghasilan, dua tenaga. Harusnya semua
00:06:46
jadi lebih mudah. Padahal kalau kita
00:06:48
ngomongin realitas, justru setelah
00:06:49
menikah beban finansial enggak
00:06:51
berkurang, malah naik dua kali lipat
00:06:53
bahkan bisa lebih. Penikahan itu bukan
00:06:54
solusi dari masalah ekonomi. Justru dia
00:06:56
pintu masuk ke kebutuhan yang lebih
00:06:58
besar, lebih rumit, dan lebih enggak
00:07:00
terduga. Yang awalnya lu cuma mikirin
00:07:02
biaya makan buat satu orang, sekarang
00:07:04
jadi dua. Yang awalnya lu bisa tinggal
00:07:05
numpang di rumah orang tua, sekarang lu
00:07:07
mesti mikirin tempat tinggal sendiri,
00:07:09
sewa kontrakan, atau kalau berani
00:07:11
cicilan KPR. Semua tagihan yang
00:07:13
sebelumnya bisa lu abaikan, sekarang
00:07:14
wajib ada dan harus dibayar tepat waktu.
00:07:17
Karena lu enggak hidup sendiri lagi dan
00:07:19
pasangan lu juga butuh kenyamanan yang
00:07:20
sama. Belum lagi soal konsumsi,
00:07:22
kebutuhan sehari-hari enggak sekedar
00:07:24
nambah satu piring makan di meja. Ada
00:07:26
banyak penyesuaian gaya hidup yang
00:07:27
seringkiali enggak disadari. Dua orang
00:07:29
hidup bersama artinya dua pola konsumsi
00:07:31
yang saling mempengaruhi. Lu mungkin
00:07:33
dulunya bisa hidup hemat, tapi pasangan
00:07:35
lu punya standar kenyamanan yang berbeda
00:07:37
atau sebaliknya. Dan ketika dua dunia
00:07:39
itu disatukan dalam satu atap, kompromi
00:07:41
bukan cuma soal sikap, tapi juga soal
00:07:43
anggaran. Dari mulai makanan, perabotan
00:07:45
sampai gaya liburan, semua itu ngasih
00:07:47
tekanan baru ke keuangan yang sebelumnya
00:07:49
mungkin stabil waktu masih sendiri. Dan
00:07:51
kalau lu pikir semua itu bisa ditutupi
00:07:53
karena penghasilan digabung,
00:07:54
kenyataannya enggak sesederhana itu.
00:07:56
Karena enggak semua pasangan punya dua
00:07:58
sumber penghasilan. Banyak yang salah
00:07:59
satu dari mereka enggak kerja atau
00:08:01
penghasilannya enggak tetap. Dan bahkan
00:08:03
kalau dua-duanya kerja pun, jumlah
00:08:04
pengeluaran tetap jauh lebih cepat naik
00:08:06
ketimbang laju penghasilan.
00:08:08
Ujung-ujungnya bukan supplus yang lu
00:08:09
dapat, tapi defisit yang makin besar
00:08:11
setiap bulan. Masalah makin rumit ketika
00:08:14
udah masuk fase-fase baru, baru nikah,
00:08:16
belum kelar adaptasi, tiba-tiba hamil,
00:08:18
punya anak. Dan di titik itu, biaya
00:08:20
hidup yang tadi udah berat langsung naik
00:08:22
ke level yang lebih baru. Biaya kontrol
00:08:24
kehamilan, persiapan lahiran, biaya
00:08:26
rumah sakit, pelengkapan bayi, semua
00:08:28
datang bertubi-tubi. Dan enggak semua
00:08:30
pasangan siap secara finansial, apalagi
00:08:32
mental. Di sinilah banyak yang mulai
00:08:33
goyah. Mereka ngerasa hidup pasca nikah
00:08:35
justru lebih sempit, lebih tertekan, dan
00:08:37
lebih enggak terkendali secara keuangan.
00:08:45
Kalau ngomongin realitas pernikahan di
00:08:46
Indonesia, lu enggak bisa cuma lihat
00:08:48
budaya dan tekanan sosial. Ada satu
00:08:50
aspek besar yang sering luput dibahas,
00:08:52
yaitu sistem ekonomi kita emang enggak
00:08:54
berpihak ke pasangan muda. Mulai dari
00:08:56
urusan tempat tinggal, pekerjaan, sampai
00:08:58
kebutuhan dasar, semuanya justru bikin
00:09:00
pasangan muda makin sulit bertahan.
00:09:01
Harga rumah udah enggak masuk akal. Di
00:09:03
kota besar, rumah pertama bisa tembus
00:09:05
ratusan sampai miliaran. Sementara
00:09:07
penghasilan stak nand sebanding. Gaji
00:09:09
UMR tiap tahun naiknya lambat. Sementara
00:09:12
inflasi terus berjalan dan beban hidup
00:09:14
makin berat. Kondisi kerja juga enggak
00:09:16
stabil. Kontrak pendek, outsourcing,
00:09:18
benefit minim. Banyak pasangan muda yang
00:09:20
baru nikah justru enggak bisa punya
00:09:21
kepastian finansial, apalagi nabung buat
00:09:24
masa depan. Setelah nikah, tekanan
00:09:26
ekonomi justru makin besar. Akses
00:09:28
pendidikan buat anak makin mahal, biaya
00:09:29
kesehatan makin tinggi, dan sistem
00:09:31
jaminan sosial kayak BPJS pun belum
00:09:33
sepenuhnya bisa diandalkan. Lu dituntut
00:09:35
buat mandiri, tapi negara enggak ngasih
00:09:37
fondasi yang bikin mandiri itu mungkin
00:09:39
buat diwujudin. Enggak sedikit pasangan
00:09:41
yang akhirnya terpaksa ambil hutang
00:09:42
besar mulai dari KPR sampai cicilan
00:09:44
kendaraan cuma buat bisa punya kehidupan
00:09:46
yang layak secara minimum. Bahkan buat
00:09:48
urusan sehari-hari banyak yang hidup
00:09:50
dari gaji ke gaji. Belum sempat mikir
00:09:52
investasi duitnya udah habis duluan buat
00:09:54
bayar kewajiban. Penikiran jadi momen
00:09:56
masuk ke sistem yang bikin lu harus
00:09:58
muter otak tiap bulan biar gak jatuh ke
00:10:00
lubang kemiskinan yang baru. Dan ini
00:10:02
bukan cuma soal kurang kerja keras atau
00:10:04
kurang pintar ngatur keuangan. Ini soal
00:10:06
struktur yang emang enggak mendukung.
00:10:08
Akibatnya banyak pasangan yang kejebak
00:10:09
di tengah tuntutan budaya dan sistem
00:10:11
yang enggak
00:10:13
[Musik]
00:10:16
ramah. Pada akhirnya pernikahan di
00:10:19
Indonesia seringkiali jadi jebakan
00:10:20
finansial. Gengsi dan tekanan sosial
00:10:22
jadi alasan utama kenapa banyak pasangan
00:10:24
muda terjebak dalam lingkaran
00:10:25
kemiskinan. Mereka dihadapkan pada
00:10:27
kenyataan pahit, yaitu setelah pesta
00:10:29
selesai, kehidupan nyata dimulai dengan
00:10:31
biaya yang terus bertambah dan tekanan
00:10:33
ekonomi yang enggak berhenti. Kalau
00:10:34
sistem dan budaya kita enggak berubah,
00:10:36
penikahan enggak akan lagi jadi awal
00:10:37
kebahagiaan, tapi malah jadi awal dari
00:10:39
masalah baru yang lebih besar. Kalau
00:10:41
kita enggak siap secara finansial, apa
00:10:42
yang dikatakan cinta bisa jadi enggak
00:10:44
cukup buat bertahan. Well, gimana
00:10:46
menurut lo tentang fenomena ini? Tulis
00:10:48
pendapat lo di kolom komentar. W. Terima
00:10:49
kasih sudah nonton video ini. Sampai
00:10:51
ketemu di video selanjutnya.
00:10:54
[Musik]